Profil  

Dewan Pers,Media Massa Tidak Mengambil Informasi Viral

BantenOne.com,Bandung – Ketua Dewan Pers Yosef Adi Prasetyo minta kepada media massa tidak mengambil informasi viral dari media sosial. Kemudian mengolah menjadi sebuah berita tanpa didasari dengan fakta. Informasi viral pada media sosial belum bisa di ambil kebenarannya. Dalam hal ini Media Massa harus berhati – hati dalam mewartakan hal tersebut.

Dalam acara Seminar Bartajuk Peran Pers Dalam Mendorong Pemilu Berkualitas Rabu 20 Maret 2019 di Kota Bandung Yosef menegaskan. Pada tiga pekan lalu Dewan Pers memberikan hukuman kepada sebuah media massa yang membuat berita tentang calon wakil presiden KH. Ma’ruf Amin mengundurkan diri dan akan digantu oleh mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Berita tersebut mengambil dari media sosial lalu dekemas menjadi sebuah berita.

“kami menghukum media massa yang memberitakan bahwa KH. Ma’ruf Amin akan mundur jadi wapres dan akan digantikan oleh Ahok. Ternyata berita ini hoaks, dan sumbernya dari informasi viral di media sosial. Kita panggil medianya tersebut dan harus melakukan permintaan ma’af” tegasnya.

Oleh karena itu kata Yosef, media massa harus bisa membedakan antara informasi yang benar – benar fakta dan mana yang berita hoaks. Media massa diharapkan lebih hati – hati dalam mewartakan sebuah peristiwa di lingkungan masyarakat atau pemerintahan. Namun hal ini pun media massa boleh saja mengambil berita dari media sosial, akan tetapi harus dilakukan konfirmasi kepada pihak – pihak yang harus dikonfirmasi.

“ini untuk mencegah terjadinya hoaks, karena inti jurnalisme adalah verifikasi dan konfirmasi. Dewasa ini mayoritas wartawan memilih jalan menulis paling mudah menemukan ide berita dari media sosial” pungkasnya.

Ditempat terpisah.

Sementara itu menurut salah seorang mantan wartawan di era tahun 80 an Sofyadi Abdullah Tjakradiningrat (65) ketika ditemui BantenOne.com di Jl. Raya Kamojang – Garut Bandung Jawa Barat Rabu (20/3/2019) mengatakan. Pada umumnya wartawan dijaman now sangat berbeda dengan jaman Orde Lama dan Orde Baru. Kemungkinan jaman sekarang adalah jaman modren dan jaman serba bisa serta mudah.

Di era tahun 80 an, seseorang untuk menjadi wartawan sangat sulit dan tidak mudah. Ketika sesorang ingin menjadi wartawan melalui proses yang sangat panjang. Dilatih segala macam hal termasuk mental dan fisik. Harus mampu mendalami ilmu – ilmu jurnalistik dan memahami betul Kode Etik Jurnalis. Ada juga media cetak menerima wartawan dengan syarat bisa menulis steno. “yah itu jaman dulu, sekarang kan sudah pintar – pintar ditunjang dengan pendidikan yang memadai” ujarnya.

Wartawan disaat itu, tidak secara terang – terangan dalam tugas peliputan, karena wartawan harus memiliki jiwa inteljen. Sebagai seorang sosial kontrol harus menjiwai idialisme yang tinggi tidak mudah disuap. Dalam menulis berita setidaknya mengusai materi yang akan dipublikasikan. Terutama data yang akurat fakta dan faktual.

Kunjungi !!!
.”Terimakasih anda menyukai Pemberitaan kami. (BantenOne.com)

Menurutnya, dijaman era Soeharto media cetak mingguan dan bulanan atau majalah itu sangat ditakuti. Berbeda sekali dengan media massa sa’at ini yang hampir 99 persen isi pemberitaannya serimonial semua. “mana penemuan wartawan dalam bertugas dilapangan, hanya sedikit wartawan yang melakukan investigasi. Tunjukanlah jiwa idialisme dan independensi sebagai wartawan sejati ” ungkapnya.

Menyinggung soal adanya Uji Kompetensi Wartawan oleh Dewan Pers. Lebih lanjut Sofyadi mengemukakan. Uji Kompetensi Wartawan itu sangat mendukung terhadap para wartawan untuk pendalaman agar menjadi wartawan yang profesional, selalu menjaga Kode Etik Jurnalis dan independensi tetap terjaga. Kompetensi Profesi bukan saja terhadap wartawan melainkan semua profesi wajib diselenggarakan Uji Kompetensi pada lembaganya masing – masing.

“saya menitik beratkan kepada para wartawan untuk menggunakan tulisan dengan bahasa yang baik dan benar, jangan terpengaruh dengan media sosial. Ingat kita ini media massa memiliki lembaga dan diatur oleh Undang – Undang. Akan tetapi sebaiknya Dewan Pers dan Pemerintah merujuk kembali hukum terhadap wartawan dalam unsur pemberitaan” katanya.

Sofyadi menjelaskan, jangan disamakan dengan hukum pidana, kesalahan wartawan dalam pemberitaan itu bukan pelanggaran hukum yang diatur pada KUHP. Mengutamakan praduga tak bersalah, adanya klarifikasi, kemudian somasi pada perusahaan Pers. Jadi kita kembalikan lagi fungsi Dewan Pers itu apa, melindungi, mengayomi, menampung, mendata. Kemudian apa langkah – langkah hukum jika terjadi pada wartawan yang terintimidasi, teraniaya atau di aniaya bahkan dibunuh. Mudah – mudahan saja Dewan Pers bekerja lebih baik pada kepemimpinan sekarang dan yang akan datang” ucapnya.

Memperhatikan kondisi sekarang ini beberapa organisasi wartawan bahkan ratusan diluar dari Dewan Pers. Seharusnya hal ini pihak Dewan Pers menyadari dan intropeksi kenapa dewasa ini bermunculan organisasi wartawan di berbagai daerah bahkan hadirnya Kongres Dewan Pers Indonesia (Independen). Mau tidak mau Dewan Pers bersifat arif dan mampu merangkul dan tidak mengelurkan bahasa yang sempat mengungundang reaksi wartawan.

“jujur saja ucapan Dewan Pers terkait wartawan abal – abal itu sangat tidak baik dalam berdemokrasi, yang disebut wartawan abal – abal adalah wartawan yang tidak ada media nya, sementara kalau saya amati mereka punya media dan perusahaanya legal, persoalan terdaftar atau tidak yang utama adalah ada pertanggungjawaban, kan simple toh” pungkasnya.(M.yadi)

[template id=”257″]