BantenOne.com | Jakarta,. – Puluhan pegawai PT Pertamina Bina Medika IHC (Pertamedika), anak perusahaan PT Pertamina (Persero) di sektor layanan kesehatan, menggelar aksi unjuk rasa di sejumlah titik strategis di Jakarta pada Kamis (26/6). Aksi yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Pertamedika IHC ini berlangsung di depan Gedung Kementerian BUMN, Danantara, Kementerian Ketenagakerjaan, Grha Pertamina, dan Gedung DPR RI.
Ketua Umum Serikat Pekerja Pertamedika IHC, Gimbong Budhi Bakhtera, menyatakan bahwa aksi ini merupakan respons atas berbagai persoalan yang dinilai merugikan hak dan kesejahteraan pegawai. Salah satunya adalah kebijakan penghentian kenaikan golongan selama dua tahun terakhir yang menyebabkan ketidakadilan internal dan ketidakjelasan dalam sistem pembayaran bonus.
“Beberapa unit usaha yang telah mencetak laba belum merealisasikan pembayaran bonus bagi pekerja, tanpa penjelasan yang memadai,” ujar Gimbong dalam keterangan tertulis.
Ia juga mengungkapkan adanya ketimpangan dalam pemberian insentif jasa kerja dan tunjangan. Beberapa unit dengan kinerja baik justru menerima nilai insentif kelompok yang lebih rendah dari unit lainnya. Tak hanya itu, banyak pegawai dengan status Pegawai Waktu Tertentu (PWT) telah bekerja bertahun-tahun namun belum diangkat secara tetap.
Sementara itu, beberapa pegawai tetap mengalami stagnasi karier meskipun telah memenuhi syarat kenaikan golongan.
Serikat pekerja juga menyoroti berbagai kendala operasional di unit usaha Pertamedika, seperti kesulitan pengadaan alat kesehatan, peningkatan layanan, serta pemenuhan kebutuhan dokter spesialis tetap. “Keadaan ini berdampak pada penurunan daya saing rumah sakit-rumah sakit milik perusahaan,” kata Gimbong.
Menurutnya, berbagai persoalan tersebut berpangkal pada tidak diterapkannya Pertamina Reference Level sebagai standar sistem penggolongan pegawai. Hal ini menghambat harmonisasi pengelolaan SDM Pertamedika dengan standar di lingkungan PT Pertamina Group.
Selain menuntut perbaikan internal, serikat juga menolak keterlibatan pihak swasta dan asing dalam pengelolaan Pertamedika. Mereka meminta agar kepemilikan penuh atas perusahaan dikembalikan kepada negara. “Pendekatan kapitalistik ini berpotensi melemahkan kontribusi Pertamedika di sektor kesehatan, yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara,” tegas Gimbong.

Serikat juga meminta PT Pertamina (Persero) selaku pemegang saham mayoritas untuk menempatkan perwakilan pekerja dalam jajaran direksi Pertamedika. Langkah itu dinilai penting untuk meningkatkan transparansi dan pengawasan, sekaligus mencegah delusi kepemilikan saham Pertamina atas perusahaan.
Gimbong turut menyoroti proyek-proyek besar yang dinilai membebani keuangan perusahaan, seperti pembangunan Bali International Hospital dan rumah sakit lain yang bukan milik Pertamina. Ia menyatakan bahwa sejak Pertamedika dijadikan holding rumah sakit, tidak ada peningkatan kinerja signifikan.
Serikat bahkan mencurigai adanya pelanggaran prosedur dalam proses rekrutmen di tingkat korporat. Menurut Gimbong, proses tersebut terkesan tidak cermat, tidak transparan, dan tidak memperhatikan kondisi keuangan perusahaan yang sedang tertekan. “Praktik ini dikhawatirkan semakin membebani keuangan dan menciptakan ketimpangan di internal perusahaan,” ujarnya.
Oleh karena itu, serikat mendesak dilakukan audit independen terhadap proyek-proyek strategis, pengadaan alat kesehatan, jasa konsultan, dan keuangan perusahaan secara menyeluruh. Gimbong menambahkan bahwa terdapat indikasi krisis finansial, salah satunya terlihat dari defisit dalam laporan laba rugi perusahaan.
“Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pekerja terhadap keberlangsungan usaha dan potensi dampaknya terhadap pemenuhan hak-hak normatif maupun non-normatif mereka,” tutup Gimbong.




